Saturday, June 28, 2014

The Fault in Our Stars (2014) Review


Bagi penggemar berat novel-novelnya John Green, pasti udah nunggu kehadiran film ini dari berbulan-bulan yang lalu, atau malah abis baca buku itu langsung ngarep “INI NOVEL MESTI DIBIKIN PELEMNYA”. Novel dengan judul yang sama ini emang termasuk paling laris di kalangan remaja dan punya loyal fans yang bisa dibilang ada di seluruh dunia, termasuk di Indonesia. Gue pun sebagai pembaca karya-karyanya John Green, awalnya gak berharap novel ini bakal diangkat jadi film, cukup kelar dengan baca novelnya dan bermellow-mellow ria dengan ending-nya doang. Tapi yha mumpung filmnya udah kepalang dibuat, gak ada salahnya buat ditonton juga kan? Hhe.

Film arahan sutradara Josh Boone ini menceritakan tentang Hazel Grace Lancaster (diperanin oleh Shailene Woodley), remaja 17 tahun yang merupakan penderita kanker tiroid stadium 4 dan kankernya juga menjalar ke paru-parunya. Kemana-mana, si Hazel mesti bawa tabung oksigen yang dibawa kayak koper karena kalo kayak katanya si Hazel, her lungs suck at being lungs. Karena dokter dan orang tuanya Hazel beranggapan bahwa Hazel mulai nunjukkin gejala depresi karena kanker yang dialaminya, orang tua Hazel pun nyuruh dia ikutan support group yang berisikan sesama penderita kanker.


Awalnya, Hazel yang demennya nonton reality shows di tv ini ogah-ogahan ikutan support group, karena dia gak merasa dirinya depresi. Sampai akhirnya Augustus Waters (diperanin oleh Ansel Elgort), penderita osteosarcoma yang mesti kehilangan satu kakinya dan mesti pake kaki buatan, dateng ke support group atas ajakan temennya yang terancam buta karena menderita tumor di mata bernama Isaac (diperanin oleh Nat Wolff). Augustus pun tertarik dengan Hazel, ia sering ngajakin Hazel buat dateng ke rumahnya, dari yang cuman sekedar nonton film bareng sampe tuker-tukeran buku bacaan. Hazel minjemin novel favoritnya yang berjudul An Imperial Affliction karyanya Peter Van Houten (diperanin dengan bangsat namun bikin greget oleh, once again, Willem Dafoe) ke Augustus.

Augustus pun jadi ikut-ikutan demen baca novel yang berakhir ditengah-tengah kalimat tersebut, dan lambat laun Hazel dan Augustus jadi saling jatuh cinta. Akhirnya, Augustus dan Hazel pun nyoba nge-contact Peter Van Houten yang tinggal di Amsterdam buat cari tau apa yang terjadi selanjutnya pada tokoh-tokoh utama di novel An Imperial Affliction. Mereka pun berhasil nge-contact Peter, bahkan Peter ngundang mereka buat ketemu sama dia di Amsterdam dan tawaran tersebut diterima dengan sukacita oleh Augustus dan Hazel. Nah, apa aja yang bakalan terjadi sama Augustus dan Hazel di Amsterdam untuk ketemuan sama Peter Van Houten? Lalu apakah mereka bisa bertahan walaupun mereka sama-sama berjuang untuk sembuh dari penyakitnya masing-masing? Semua itu bakal terjawab jika yu, yu, dan yu nonton film ini (atau baca novelnya juga sih, hhe).


At least, Josh Boone bisa dibilang nyuguhin sinematografi yang baik, walaupun sebenernya untuk film-film Hollywood termasuk standard sih. Satu hal yang bisa dibilang mencuri perhatian penonton adalah scenes dimana Hazel dan Augustus lagi texting, SMS-SMS mereka ditampilkan dalam bentuk bubble callouts yang dibikin seperti doodles dengan sentuhan animasi. Waktu scenes kayak gitu nongol, orang disebelah gue selalu bilang “Ih lucu amat yak”. Yha diem-diem saya juga setuju sih sebenernya. Lalu view scenes ketika Hazel dan Augustus ada di Amsterdam juga sukses bikin hati orang-orang jadi adem ayem, termasuk gue juga sih.

Kalo boleh jujur, gue udah baca novel ini mungkin sekitaran 2 kali lah, tapi ada poin-poin yang lumayan penting di novel malah gak ditampilin di film ini. Contohnya, di novel ada tokoh bernama Kaitlyn yang merupakan temennya Hazel dan Kaitlyn ini suka nge-motivate Hazel untuk lebih deket dengan Augustus. Lalu, di novel itu juga sempet dijelasin tentang mantan pacarnya Augustus yang udah meninggal karena kanker dan bikin Hazel suka kepikiran terus. Tapi di film, ternyata gaada tokoh Kaitlyn dan pembahasan tentang mantannya Augustus sama sekali. To be honest, gue berharap film berdurasi 2 jam lebih ini bisa lebih mendetail dan menggali lebih dalam lagi plot novel yang udah cemerlang ini untuk di-adapt ke bentuk film. Mungkin inilah salah satu kekurangan yang bikin film ini jadi gak se-greget novelnya.


Soal acting para casts, overall semuanya ber-acting baik, gue salut sama acting-nya Shailene Woodley yang jadi tokoh sentral di film ini. Awalnya Shailene nampilin perpindahan posisi Hazel yang berpotensi penuh ngebuat TFIOS jadi kayak rom-com biasa, lalu pelan namun pasti mulai berubah jadi Hazel yang conflicted akan penyakitnya dan kelanjutan hidupnya bersama Augustus. Di point ini, menurut gue merupakan pencapaian terbaik dari actingnya Shailene sendiri, actingnya menjadi jauh lebih baik ketimbang ketika dia main di film Divergent. Chemistry yang terjalin antara Hazel dengan Augustus, lalu Hazel dengan orang tuanya (terutama nyokapnya yang diperanin oleh Laura Dern) pun terjalin natural. Lalu Ansel Elgort sebagai Augustus yang sukses jadi heartthrob dan awalnya terkesan powerful di awal film, namun sayangnya masih kurang bisa nunjukkin Augustus yang lambat laun jadi makin vulnerable di akhir film. Kemunculan Nat Wolff sebagai Isaac pun bener-bener jadi humour syegar di film ini.

                
And surprisingly, Willem Dafoe yang jadi Peter Van Houten yang bangsat nan sompret ini bener-bener menyita perhatian gue sejak pertama kali dia nongol! Gue rasa, Willem Dafoe memang dilahirkan untuk salah satu alasan ini, apalagi kalo bukan buat meranin karakter Peter Van Houten. Gue puas banget liat acting-nya Willem Dafoe di film ini, setelah gue dibikin kesel sama dia di The Grand Budapest Hotel, eh dia nongol lagi jadi asshole yang minta dicaci maki banget. Adegan ketika Hazel Dan Augustus ke rumah Peter adalah adegan terbaik di sepanjang film ini bagi gue pribadi.



Well, seandainya aja film ini bisa lebih menyempurnakan penyampaian plotnya dan acting beberapa castsnya bisa lebih meyakinkan, mungkin film ini bener-bener bakal worth watching. Sehingga gue (dan penonton-penonton yang lain, yang udah keburu kemakan omongan articles di internet tentang TFIOS) gak perlu bilang bahwa hasil adaptasi novel favorit gue ini jadinya totally overrated, hanya karena Josh Boone tidak mengambil kesempatan emas untuk membuat film ini jadi terkesan lebih menyentuh bagi para penontonnya.


0 comments:

Post a Comment