Akhirnya, persis hari ini, persis sekitar beberapa jam yang
lalu, impian gue buat nonton film lama di studio bioskop akhirnya kesampaian. Secara,
gue kalo nonton film-film lama ya paling sering nonton streaming di internet. Dan
yang paling penting, impian gue buat nonton film ini di bioskop Kineforum akhirnya
tercapai di hari ini! Today is such an exciting day, karena gue berkesempatan
nonton salah satu film terbaik dari Teguh Karya di tempat yang rada gak biasa
pula, di Kineforum. Sebuah indie theater yang gak banyak warga Jakarta tau kalo
ada tempat yang diem-diem badass ini.
Sebelum gue lebih ngalor-ngidul lagi ngocehnya saking
senengnya hari ini bisa nonton Ibunda, gue mau review filmnya dulu deh yak.
Film Ibunda ini berceritakan Ibu Rakhim (diperankan dengan
apik oleh Tuti Indra Malaon), janda seorang priyayi yang mempunyai 4 anak, yang
tertua yaitu Farida (Niniek L. Karim), Zulfikar (Alex Komang), Fakhri (lupa
nama pemerannya siapa), dan yang bungsu yaitu Fitri (Ria Irawan). Pokok masalah
pun berpusat di kedua anak Bu Rakhim, yaitu Zulfikar dan Fitri. Zulfikar,
seorang bintang teater musikal yang sedang naik daun, mendapat kontrak untuk
memainkan film yang diangkat dari cerita teater musikal yang telah mengorbitkan
namanya. Namun keberuntungan yang didapat oleh Fikar tidak semata-mata hoki aja,
ada seorang wanita yang terlalu mengatur awal karier Fikar ketika nama Fikar
mulai terkenal. Seorang wanita hedonist (malah mungkin lebih tepatnya bisa
disebut ‘tante girang’) yang jauh lebih tua dari Fikar, yang membuat Fikar terlena
oleh fame yang mulai ia dapat dan akhirnya lupa bahwa ia telah mempunyai istri yaitu Yati (Ayu Azhari) dan
anaknya yang masih balita bernama Bambang.
Selain masalah yang muncul dari keluarga dan karier Fikar,
ada Fitri yang berpacaran dengan Luke (bah, lupa lagi nama aslinya) seorang
laki-laki dari Papua yang sedang menempuh kuliah tingkat akhir. Fitri, yang belum
kelar pendidikan SMA nya, bersikeras untuk tetap menjalin kasih dengan Luke
walaupun ditentang oleh kakak-kakaknya yaitu Farida dan suaminya yang bernama
Gatot (Galeb Husein) dan Fakhri, sampai akhirnya Fitri pun nekat kabur dari rumah karena tidak tahan hubungannya dengan Luke ditentang hanya karena masalah suku dan warna kulit saja. Farida sebagai kakak tertua pun berusaha untuk
menyelesaikan masalah yang dialami adik-adiknya, meskipun anaknya sendiri yaitu
Agus, sering mabuk-mabukan karena merasa impiannya banyak ditentang oleh
bapaknya yaitu Gatot.
Kalo diliat-liat, mungkin kayaknya peran Bu Rakhim yang diperanin
Tuti Indra Malaon di film ini kayak gak mentereng banget ya. Tapi jangan salah
sangka dulu, justru disinilah yang bikin Bu Rakhim ini diem-diem badass. Dalam
film ini, kebijaksanaan serta rasa keterbukaan yang ditunjukkan Ibu Rakhim
adalah penentu bagaimana masalah-masalah yang merundung anak-anak Ibu Rakhim
akhirnya tiba ke titik akhir. Gue paling suka bagaimana Bu Rakhim menunjukkan
bahwa gak ada salahnya jika Fitri berhubungan dengan orang yang berbeda suku
dengannya, yang terpenting adalah akhlak dan pendidikannya. Dan juga bagaimana
dia ngejelasin ke Gatot kalo anaknya Gatot, yaitu Agus, pun berhak menentukkan
masa depan dan keinginannya dikemudian hari.
Ibu Rakhim ini bener-bener merupakan potret ibu-ibu Jawa
yang sama sekali gak kolot, dan surprisingly sangat open-minded, dan juga
selalu memastikan bahwa anak-anaknya tidak luput dari perhatian dan kasih
sayangnya (you go, Bu Rakhim!). Namun ada satu adegan yang rada bikin gue gimana gitu (menurut gue
sih ini spoiler, tapi terserah kalian sih, at least gue udah meringatin kalian)
adalah ketika semua anak-anaknya berkumpul ke dalam rumah, dan ibu Rakhim
ditinggal sendiri, sebelum akhirnya ia dipanggil oleh pembantunya untuk ikut
berkumpul ke rumah. Di adegan ini, entah kenapa gue berpikir kalo ibu Rakhim
merasa bahwa semakin renta dirinya, akankah anak-anaknya akan mengasihinya
sebesar ibu Rakhim menyayangi dan mengasihi anak-anaknya selama ini? Well, we
don’t know.
Mungkin satu hal yang menurut gue rada cliché dari film ini
adalah, sepertinya tiap film bergenre family drama, apalagi film-film lama, banyak
yang penyelesaian konfliknya itu kayak “konflik dimulai – klimaks terjadi –
masalah perlahan selesai sendiri – kumpul-kumpul keluarga sebagai simbol bahwa
konfliknya udah beneran kelar”. Walaupun film Ibunda ini kurang lebih melakukan hal tersebut, hal itu gak membuat film ini jadi jelek. Sama
sekali enggak. Malahan kalaupun memang ada kelemahan yang berarti, kelemahan-kelemahan itu bisa tertutupi oleh kehangatan yang terjalin antar cast lewat skenario dan akting para cast film. Semuanya membuat kita seakan-akan kayak ngeliat, gausah jauh-jauh lah, kayak ngeliat keluarga kita masing-masing aja deh. Sehingga jadi kayak ngeliat keluarga beneran. Skenario yang
dilontarkan pun berjalan sangat alami tanpa dibuat-buat, dan hal ini yang bikin
gue bener-bener kagum dan ngerasa waktu pas nonton film ini, gue kayak udah masuk kedalam ruang lingkup
keluarga Bu Rakhim, bukan di kursi bioskop Kineforum lagi. Dan gue mau kasih
thumbs up buat Tuti Indra Malaon dan Niniek L. Karim yang meranin Bu Rakhim dan
Farida dengan kece berat.
Oiya, Ayu Azhari dan Ria Irawan di film ini entah kenapa
bikin gue gemes sendiri saking manisnya muka-muka mereka (dulu). Ada satu
adegan dimana Alex Komang akan menampar Ayu Azhari, dan suddenly gue denger ada
penonton cowok yang dengan hati-hati dan perlahan agak ngejerit “EEEEH ADUH jangan dong” pas Ayu Azhari hampir ditampar
beneran. Maklum, tadi kayaknya satu studio isinya cuman sepuluh orang kayaknya, makanya bisa kedengeran banget begitu sekalipun mau ngomongnya pelan-pelan.
Dan ngomongin soal bagaimana screening film ini di Kineforum
berlangsung, jadi gue dan supir gue (iya, kita nonton bareng film ini) adalah
orang-orang yang paling pertama dateng di Kineforum, dan kita sempet
ngobrol-ngobrol dikit sama mas-mas Kineforum yang ramah, namanya Mas Ara kalo
gak salah (hey there, Mas Ara!). Setelah nunggu sekitar 1 jam lebih dikit,
akhirnya kita diperbolehin masuk ke dalem bioskop. Selama film berlangsung, gue
merhatiin banget filmnya, siapa tau ada adegan yang tiba-tiba disensor. Dan
ternyata hal itu terjadi, ada 1 adegan yang tiba-tiba langsung di-cut gitu aja,
dan ada 1 adegan yang langsung disensor. Rada gak asik sih emang, kalo
tiba-tiba ada adegan yang di-cut. Gue aja pas tau ada adegannya di-cut aja
langsung cengo sambil plongak-plongok goblok dulu, dan akhirnya baru menerima
takdir bahwa emang barusan adegannya di-cut. Heh. Heheuhueheuheuheh.
Untuk format filmnya sih, gue yakinnya kalo film ini ditayangin dari
media VCD, bukan reel film aslinya, soalnya walaupun ada film grains nya, tapi
gak terlalu banyak juga. Yang paling dominan adalah gambar yang mendadak pixelated
dan jadi abu-abu begitulah. Untuk sinematografinya sih, ya kalian tau sendiri
kan film lama itu gimana sinematografinya, belum secanggih jaman sekarang. Tapi
percaya deh, sinematografinya itu gak lebay, ya menurut gue sih memang biasa aja tapi justru itulah yang bikin gue suka sama film ini. Skenario dan
sinematografi yang berlangsung natural begitu aja, itulah kekuatan film tentang
potret keluarga yang hangat-hangat tai ayam namun
kebetulan dirundung masalah-masalah secara bersamaan ini.
“Ibu,
buku yang habis kau
baca,
kini mulai ku baca,
baru halaman pertama”
0 comments:
Post a Comment