Tuesday, April 28, 2015

Melancholy is a Movement (2014) Review


"FILM GAJE FILM GAJE FILM GAJE!!!!!!" Teriak seorang perempuan yang walked out bersama teman-temannya dari pemutaran Melancholy is a Movement. Perempuan itu tidak sepenuhnya salah karena memang benar, Melancholy is a Movement mungkin adalah film yang tidak jelas bagi sebagian orang. Walaupun film ini sekilas terlihat seperti film yang termasuk golongan style over substance, tapi perasaan yang saya rasakan saat menonton film terasa familiar karena apa yang hendak disampaikan oleh Richard Oh sangatlah sederhana: ini kisah tentang filmmaker yang berusaha untuk bertahan hidup.

Joko Anwar (Joko Anwar) sedang berada dalam titik terendah dalam hidupnya. Ia kehilangan sesuatu yang amat berarti bagi dirinya dan datangnya berbagai tagihan yang harus segera ia bayar. Joko pun ditawari untuk menyutradarai sebuah film reliji, jenis film yang berlawanan dengan karya yang telah ia ciptakan selama ini. 


Hampa adalah kata yang menghantui benak para penontonnya saat Melancholy is a Movement berjalan. Hampir keseluruhan isi film ini dipenuhi oleh long take statis yang merekam aktifitas Joko yang sedang menatap kosong, atau potongan-potongan adegan yang nyaris tidak ada hubungannya dengan adegan sebelumnya, atau juga beberapa aksi reaksi para karakternya yang terlihat tidak riil. Akibatnya, Melancholy is a Movement terlihat sebagai karya yang pretensius bagi sebagian orang. Pengalaman unik didapatkan, tapi rasa jenuh atau kebingungan juga melebur jadi satu.

Idealisme vs realisme

Permasalahan yang paling sering dialami tiap manusia di dunia ini adalah ketika apa yang diharapkan tidak sesuai dengan realita yang ada. Kekosongan sosok Joko Anwar di film ini rasanya seperti mewakili kekosongan para pembuat film yang penuh dengan ide-ide brilian tapi kecewa ketika realita menampar mereka dengan keras. Tema idealisme vs realisme pun bergulir sepanjang durasi 75 menitnya. Pertanyaan seperti apakah seorang seniman mesti mempertahankan idealnya meskipun akan merugikan diri sendiri? Apakah seorang seniman bisa juga menyerah pada idealnya agar dapat bertahan hidup? Tidak hanya rasa bingung dan bimbang yang saya dapatkan, rasa takut pun juga memenuhi diri saya ketika pertanyaan-pertanyaan seperti itu mulai menghantui pikiran.

"Boredom is the root of all evil - the despairing refusal to be oneself." - Soren Kierkegaard

Di film ini dikisahkan Joko Anwar membuat sebuah film yang bercerita tentang seorang pria yang tidak percaya apapun, seorang pria yang sinis, atau malah seorang defeatist. Suatu hari ia menemukan dirinya ada di surga tanpa ada alasan yang jelas. Melihat surga yang damai tapi membosankan membuat ia ingin merombak surga dengan memperkenalkan chaos ke para penghuni surga. Sayangnya, usaha ia untuk memperkenalkan chaos pun ambyar sehingga ia pun berakhir menjadi sama seperti penghuni surga yang lain, seorang conservative conformist-seeker.

Pria itu juga pada akhirnya adalah refleksi dari para manusia yang memiliki sebuah ideal untuk merubah sebuah sistem yang bertentangan dengan ideal awal mereka, namun akhirnya menjadi bagian dari sistem itu. Berapa banyak pemimpin yang memberikan janji-janji manis namun akhirnya menjadi sama dengan pemimpin sebelumnya? Berapa banyak grup musik yang berjanji di awal untuk berkarya demi ekspresi semata namun terpaksa menjadi band crowd-pleaser demi mencukupi kebutuhan sehari-hari? Berapa banyak pembuat film yang saat masuk sekolah film ingin membuat film with something to say, namun akhirnya membuat film-film bioskop tak bermutu, or even worse, bekerja di sinetron stripping demi menghidupi keluarga? Saat mimpi-mimpi serta harapan hancur oleh realita dan membuat orang-orang mesti menjilat ludah mereka sendiri demi bertahan hidup, apa yang mesti dilakukan? Paradoks, mungkin manusia bisa saja hidup dalam sebuah paradoks tanpa mempedulikan penilaian-penilaian orang..


Selesai menonton film ini saya keluar dari bioskop bersama teman saya sambil berpikir apakah prinsip sebegitu pentingnya sehingga kita mesti menyakiti diri sendiri demi mempertahankan sebuah prinsip? Mungkin tidak perlu. Mungkin, mungkin saja kita tidak perlu berada di A di sepanjang hidup kita, atau terus berada di B di sepanjang hidup kita. Kita suatu saat nanti akan menghadapi suatu keadaan yang memaksa kita untuk meng-contradict diri kita sendiri, dan kita harus mampu untuk menjilat ludah sendiri hanya demi bertahan hidup. Selama paradoks yang kita ciptakan tidak menyakiti dan merugikan orang lain, selama paradoks itu bermanfaat bagi diri kita sendiri atau bagi orang lain, label "tidak konsisten" dan "tidak memiliki prinsip" yang diberi orang lain pada akhirnya hanya akan menjadi luka kecil yang nantinya akan sembuh juga. Anything that doesn't kill you will only makes you stronger.

0 comments:

Post a Comment