Tuesday, January 27, 2015

In the Realm of the Senses (1976) Review


Saya suka bokep, tapi masih suka merasa 'yuh yih yuh' kalau ada feature film yang menghadirkan adegan seks yang tidak  di simulasi. Saat masih berumur 15 tahun, saya mencoba-coba memutar In the Realm of the Senses. Baru beberapa menit, filmnya langsung saya matikan. Bukan karena filmnya terlalu sakit, tapi saya masih merasa belum cukup umur (padahal bokep jalan terus est. 2007) untuk menonton film yang dipenuhi dengan desahan-desahan beneran masuk seperti itu. Saya pun berjanji pada diri sendiri, kalau film itu mesti ditonton begitu umur saya menyentuh 18 tahun. 3 tahun kemudian, saya kira saya akan tahan menonton In the realm of the senses, eh ternyata sama saja, perasaan 'yuh yih yuh' tetap dapat dirasakan pada saat adegan kulum-kulum berlangsung. Nonton bokep 3 kali seminggu itu hukumnya Fardu Ain bagi saya, lah kok nonton In the Realm of the Senses tidak kuat ya? Hidup memang penuh kontradiksi.

In the Realm of the Senses bercerita tentang hubungan seksual Sada Abe (Eiko Matsuda) dengan Kichizo Ishida (Tatsuya Fuji). Ya sudah, ceritanya seperti itu saja. Di sepanjang film penonton diperlihatkan sarang burung Sada Abe yang dihinggapi burung Kichizo Ishida. Anggaplah Sada Abe dan Kichizo Ishida itu seperti Jesse dan Celine dari Before Trilogy, hanya saja dialog-dialog yang manis-unyu-pahit di Before diganti dengan adegan seks yang begitu intens dan disturbing di setiap menitnya. Ya, seperti itu.

ena-ena
Saat saya masih kecil, saya hanya bisa membayangkan orang dewasa melampiaskan hasrat birahinya lewat pelukan dan ciuman, tidak pernah terlintas di kepala saya kalau ada yang namanya coitus interruptus, suatu hal yang selalu Adam lakukan setelah Kain dan Habel lahir demi memenuhi kriteria keluarga berencana. Lalu saat umur saya menginjak 10 tahun, saya coba-coba membuka situs porno karena sudah bosan kampret membuka situs donal bebek wikia. Walhasil bukannya perasaan pemuasan syahwat yang didapat, yang ada malah perasaan merinding-merinding jijik. Melihat gambar-gambar seperti seorang pria sedang mengeluarkan kencing putih ke si perempuan (dan si perempuan tersenyum-senyum lagi, surreal sekali), lalu si perempuan meminum kencing putih itu (sambil tertawa lagi, bangsat sekali memang hih), membuat saya mual. Anehnya, tangan saya tetap meng-klik kanan opsi "next page", berusaha untuk terus menelan informasi yang tabu dan menghilangkan rasa penasaran. Rasa mual, jijik, bercampur aduk menjadi satu. Namun rasa penasaran saya mengalahkan perasaan yang lain. Sejak hari itu, saya pelan-pelan berubah menjadi domba berbulu kampret. 8 tahun kemudian, In the realm of the Senses kembali memberikan perasaan yang persis sama seperti yang saya alami 8 tahun silam. Di saat saya merasa sudah mengerti 100% tentang apa itu seks, Oshima, lewat berbagai macam potongan gambar dan suara yang hadir di film ini, seolah bertanya: "Apakah kamu, benar-benar tahu tentang seks? atau hanya merasa sudah tahu?"


ena-ena (2)
Nagisa Oshima mendobrak dinding batasan antara porno dengan seni. Bahkan lebih dari itu, Oshima bahkan membuyarkan paradigma setiap penontonnya lewat adegan-adegan yang kelewat berani. Sejauh mana seks dan fetisisme bisa merusak dan menjauhkan seseorang dari dirinya sendiri? Pertanyaan itu terus bergulir sepanjang durasi film ini. Walaupun durasinya termasuk pendek, sebenarnya bila ditonton, pacing-nya akan terasa seperti menunggu Tuhan Yesus datang untuk kedua kalinya. Mungkin hanya saya saja yang merasa filmnya lama tapi ya apa mau di kata, saya tidak kuat melihat "yang ngeri ngeri" seperti ini.

ena-ena (3)
Ada salah satu adegan di mana Kichi memasukan sesuatu ke kemaluan Abe. Sontak saya langsung berteriak "ANJING JANGAN DI MASUKIN WOY!" dengan nada yang persis sama seperti saat saya berteriak "JANGAN BUKA FOLDER NARUTO-SASUKE BU!" ke guru Fisika saat saya terjaring razia HP di sekolah. Adegan keplek seperti tidak hanya berlangsung 1-2 kali, tapi ada banyak sampai-sampai saya lupa ada berapa banyak. Klimaks film juga bisa dikatakan sangat faktap sekali. Saking faktapnya sampai-sampai saya jadi kehilangan nafsu bokep selama beberapa hari. Gairah siapapun di dunia ini mungkin akan lumer seketika kalau disuruh mengingat adegan terakhir film ini. Selain direksinya yang begitu hatjep, sinematografi film ini juga tertata dengan begitu rapi. Shooting-nya yang kebanyakan di dalam kamar yang sempit mendukung kesan dunia kecil Abe dan Kichi yang jauh dari dunia luar. Akting Eiko Matsuda yang seperti orang kesetanan juga, bisa dikatakan, layak untuk masuk dalam daftar akting perempuan yang top notch. Gerak liar tubuh Eiko dan suaranya yang begitu mengikat benar-benar berjiwa. Oh iya, ada salah satu shot film ini yang sangat saya sukai. Shot di mana sekumpulan tentara Jepang, berbaris dengan rapi dan bergerak maju menuju masa depan yang lebih baik. Sementara Kichi, berjalan sendirian melawan arah sekumpulan tentara itu. Berjalan menuju masa depan kelam penuh kemerosotan moral yang menanti dirinya di ujung sana.

ena-ena (4)
Menonton In the Realm of the Senses serasa seperti kembali menonton bokep pada usia dini. Kita dibuat takjub dan terguncang oleh rentetan adegan seks nan ganjil yang dihadirkan di film ini. Sekilas terlihat tidak nyata, namun nyata karena apa yang dilakukan Sada Abe dan Kichizo Ishida, mungkin juga dilakukan oleh berjuta-juta umat manusia di muka bumi ini. Hanya saja apa yang dilakukan Abe dan Ishida kelewat jauh, begitu jauh sampai-sampai mereka merusak diri mereka satu sama lain, demi mencapai kenikmatan seksual semata. Coba ganti seksnya dengan hal lain, kita ganti 'seks' dengan hal yang universal. Pertanyaannya pun berubah menjadi: Sejauh mana anda mau merusak diri sendiri demi mencapai apa yang anda inginkan, apapun itu?  Overall, film ini is a must see.





2 comments:

  1. cari di torrent ada nggak bray

    ReplyDelete
  2. beres download, liat cepet2 sp tw niat nonton.
    pas ngeliat ending film ada potong pelir , jd dak jadi nonton.
    langsung delete movie dan tidur berharap dak pernah ketemu scene jancuk lg.



    700mb from torrent was gone

    ReplyDelete