Buat gw, Paul Thomas Anderson itu udah kayak Stanley Kubrick jaman sekarang, dan Quentin Tarantino-nya film drama, kenapa? Karena film2 yang dia bikin semenjak Boogie Nights itu bagus2 semua, ga ada yang jelek atopun biasa. Boogie Nights itu kayak pencampuran Pulp Fiction ama Goodfellas, terus diberi sentuhan adult content yang stupendous, P.T.A dengan jeniusannya ngebikin suatu biopik yang hampir sempurna tentang apa yang selama ini terjadi dibelakang layar industri perfilman *****, first time viewing biasa, tapi pas second viewing baru dah berasa dimana kehebatan Boogie Nights. Magnolia juga epic, P.T.A nyatuin ensemble cast mulai dari Tom Cruise sampe kodok, dan ngebuat sebuah cerita dengan layer yang berbeda2 didalamnya makin kompleks dan rumit, 3 jam durasi Magnolia itu jalan itu berasa kayak 30 menit, ga kerasa lamanya tau2 udah habis. Punch-Drunk Love, film yang ngerestore faith gw terhadap kemanusiaan, dan juga terhadap dunia percintaan, Sandler aktor paling random sedunia, tapi lewat Punch-Drunk Love, dia ngebuktiin, bahwa dia bukan cuman aktor film begituan. There will be blood, film pertama pta yang gw tonton, dan buat gw, There will be blood itu juga salah 1 alasan kenapa gw sekarang jadi maniak film. 4 dari 5 film pta itu hebat2 dan keren2, 2 dari filmnya masuk kedalam daftar top 10 gw, dan janggut pta itu menurut gw lebih awesome daripada janggut nya Kubrick or Leone. Ga ada alasan buat gw sebagai seseorang pencinta film gadungan untuk engga nonton The Master, film terbaru Paul Thomas Anderson yang udah gw tunggu2 semenjak beberapa bulan yang lalu. Akankah ekspektasi gw terpenuhi oleh film yang di shot dengan kamera 70mm ini? let's find out!
Nyeritain tentang seorang veteran angkatan laut perang dunia kedua bernama Freddie Quell (Joaquin Phoenix) yang dipulangkan karena perang telah berakhir. Freddie yang kini menjadi bagian dari masyarakat kemudian harus bergelut dengan Post-Traumatic Stress Disorder yang dia alami. Freddie kemudian bertemu dengan sebuah aliran cult bernama "The Cause" yang dipimpin oleh seorang yang dijuluki Master (Philip Seymour Hoffman). Dari situlah, Freddie kemudian menjadi pengikut The Cause dan memulai petualangannya sebagai seorang tangan kanan The Master.
Pas gw nulis review ini, gw udah nonton The Master 2 kali, why? karena first time nonton The Master, gw sama sekali ga suka sama filmnya, alur ceritanya itu ngambang ga jelas, Joaquin Phoenix itu annoyingnya setengah mati, endingnya absurd acak adul ga jelas, ngebosenin tingkat tinggi lah. Gw yang udah nungguin torrent kelar 6 jam malah hasilnya film ga jelas begini, Magnolia yang durasinya 3 jam itu malah berasa lebih cepat daripada The Master yang durasinya 2 jam lebih 14 menitan. Gw nyaris ketiduran, tapi mata gw kuat2in supaya tetap bisa menikmati The Master in any shape, in any way, and in any form, tapi tetep aja, no matter how hard i try, gw tetep ga bisa menikmati The Master entah kenapa. Sampe gw mutusin untuk melakukan second viewing ke film ini besok malemnya, mencoba meng-cross check kenapa gw malah bisa ga suka sama film ini.
Ajaibnya, pas nonton The Master untuk kedua kalinya, gw malah mendadak jadi cinta ama The Master. Alur cerita yang semula ngambang ga jelas mendadak malah jadi makin enak dan mengalir secara datar kayak air kencing yang lo keluarin habis nahan pipis di bioskop. Joaquin Phoenix yang semula annoying mendadak jadi awesome bener aktingnya, tiap kali dia ketawa itu, gw ngeliat secercah harapan sekaligus secercah kesuraman yang akan gw saksikan. Endingnya yang awalnya absurd mendadak jadi ending paling mengagumkan yang pernah gw saksikan, gimana ga mengagumkan, wong di shot pake kamera 70mm toh, pantesan mulus bener gambarnya.
Sinematografi yang ada di The Master itu harus diakui emang superb, long-take yang dilakukan oleh p.t.a di The Master itu luar biasa ajib dan luar biasa efektif. Walaupun gw masih lebih suka There will be blood, Punch-Drunk Love, Boogie Nights, ama Magnolia, tapi sinematografi serta pengambilan long-take yang ada di The Master itu pada nyatanya emang lebih bagus dan nyaris ga ada cacat2nya kalo harus ngebandingin ama film2 pta sebelumnya. Coba ya seandainya Boogie Nights itu udah make 70mm, pasti adegan antara Mark Wahlberg dan Jullianne Moore itu akan lebih indah.
Cerita yang ada di The Master itu kalau diliat sekilas emang terkesan biasa dan begitu doang, tapi kalo lu pelototin tuh film bener2 dan bener2 ngeliat bulu hidung Joaquin Phoenix secara teliti, atau seenga2nya lu nonton film ini lebih dari 1 kali, maka lu bakal nangkep isi dan apa maksud dari endingnya yang emang ambigu dan bakal ngebikin muka lu makin mirip ama Genryusai Shigekuni Yamamoto mau ngeluarin jurus Ryujiin Jakka. Endingnya berusaha menunjukan bahwa kadang kebebasan itu ga selamanya menyenangkan, kadang kebebasan itu akan merengut dan menghilangkan sesuatu yang penting di hidup lu dan memiliki sebuah harga yang bikin dahi lu mengerinyit. Kebebasan untuk lepas dari tuan lu sendiri itu merupakan suatu pergolakan batin yang berat, adegan naik sepeda motor di The Master itu adalah moment of the truth yang bener2 painfull sekaligus melegakan, bahwa seburuk2nya karakter seseorang, pada akhirnya orang itu adalah manusia, manusia yang menginginkan kebebasan, kebebasan untuk lepas dari sesuatu yang layak untuk ditinggalkan, bebas sebebas-bebasnya, kayak lagunya Sting pas bubar dari The Police: "if you love somebody, set them free."
Akhir kata, The Master itu bukan tipikal film yang satu kali nonton langsung udahan, ga kayak film2 pta lain yang satu kali langsung suka, The Master itu kind of film yang nge-demand lu untuk melakukan multiple viewing supaya bisa menikmati momen2 terbaik didalamnya. Karya terbaik pta? jelas tidak, The Master emang ga se-gemerlap Boogie Nights, ga se-touchy Magnolia, ga se-unyu Punch-Drunk Love, dan ga se-gila There will be blood, tapi The Master sendiri merupakan karya pta yang memiliki keunikan tersendiri, keunikan dimana saat dua orang dengan latar belakang yang berbeda berusaha memenuhi hawa nafsu masing2 dan berusaha mengisi satu sama lain, The Master itu karya pta yang paling poetic. Poetic dan rusak.
Cerita yang ada di The Master itu kalau diliat sekilas emang terkesan biasa dan begitu doang, tapi kalo lu pelototin tuh film bener2 dan bener2 ngeliat bulu hidung Joaquin Phoenix secara teliti, atau seenga2nya lu nonton film ini lebih dari 1 kali, maka lu bakal nangkep isi dan apa maksud dari endingnya yang emang ambigu dan bakal ngebikin muka lu makin mirip ama Genryusai Shigekuni Yamamoto mau ngeluarin jurus Ryujiin Jakka. Endingnya berusaha menunjukan bahwa kadang kebebasan itu ga selamanya menyenangkan, kadang kebebasan itu akan merengut dan menghilangkan sesuatu yang penting di hidup lu dan memiliki sebuah harga yang bikin dahi lu mengerinyit. Kebebasan untuk lepas dari tuan lu sendiri itu merupakan suatu pergolakan batin yang berat, adegan naik sepeda motor di The Master itu adalah moment of the truth yang bener2 painfull sekaligus melegakan, bahwa seburuk2nya karakter seseorang, pada akhirnya orang itu adalah manusia, manusia yang menginginkan kebebasan, kebebasan untuk lepas dari sesuatu yang layak untuk ditinggalkan, bebas sebebas-bebasnya, kayak lagunya Sting pas bubar dari The Police: "if you love somebody, set them free."
Akhir kata, The Master itu bukan tipikal film yang satu kali nonton langsung udahan, ga kayak film2 pta lain yang satu kali langsung suka, The Master itu kind of film yang nge-demand lu untuk melakukan multiple viewing supaya bisa menikmati momen2 terbaik didalamnya. Karya terbaik pta? jelas tidak, The Master emang ga se-gemerlap Boogie Nights, ga se-touchy Magnolia, ga se-unyu Punch-Drunk Love, dan ga se-gila There will be blood, tapi The Master sendiri merupakan karya pta yang memiliki keunikan tersendiri, keunikan dimana saat dua orang dengan latar belakang yang berbeda berusaha memenuhi hawa nafsu masing2 dan berusaha mengisi satu sama lain, The Master itu karya pta yang paling poetic. Poetic dan rusak.
yup, bner banget tuh..the master emang tipe film yg kudu ditonton ulang,
ReplyDeleteesensi filmnya ga bisa didapet gtu aja pas pertama kali nonton and yah..emang harus diakui ini film PTA paling 'nyeni' mungkin, udah filsuf2an ala malick-kubrick tingkatannya ^^
and i loved Phoenix performance...truly the best!
Saking nih film sedemikian 'nyeni'nya, nyaris teler gw pas pertama kali nonton. Cuman entah kenapa gw masih lebih suka There will be blood daripada The Master, mungkin karena There will be blood langung suka pas pertama kali nonton, sementara The Master ini sukanya pas giliran nonton kedua kalinya. Ngomong2 ntar tahun 2014 Inherent Vice rilis kan gan, mudahan masuk 21 yak, jarang2 pta ngebikin film detektif.
Delete