Sebenarnya gw udah lama banget nonton film ini, sekitar 2 bulanan yang lalu, tapi baru sekarang bisa gw review mengingat gw ini adalah salah satu penulis yang selalu tunduk patuh pada mood. Hari sabtu kemarin seluruh sekolah di Banjarmasin merayakan libur nasional, kata temen2 gw dikelas, sebaiknya gw duduk ngendem dalam rumah main PS3, karena mungkin leher gw akan diburu orang se-banjaran pengen disembeleh. Ga ada kerjaan dirumah, (wong udah bosen main PS3, mo main BlazBlue kagak ada musuhnya) yowes, gw pun meluncur ke rumah si Marcel Kevin Liwin, atau di perumahan gw terkenal dengan nickname mautnya dia: MazAdzieNotDie. Sampai dirumah Marsel, gw pun disambut dengan gaya tidur tikus dia yang semlohey, maksud gw datang ke rumah dia ini pengen ngajakin nobar film rame2, sekaligus supaya meracuni si marsel biar jadi filmbuff tingkat internasional nantinya, oh iya, sebelumnya gw nyoba bikin komunitas nobar kecil2an, manusia yang gw ajakin nonton pun sebenarnya gw paksa2 supaya ikut nobar, orang yang gw ajak nobar ini pun sebenarnya temen2 deket gw pas gw masih sekolah di SD, yaitu Marsel (Siswa SMA Negeri 6 Banjarmasin, Hobi: Pacaran dan Mempelonco adik kelas) dan Patrick (Siswa SMA Negeri 1 Banjarmasin, Hobi: Anything about Gravure Idol, Paskibraka, Nonton Anime, dan request donlodan anime ke gw.) 2 temen gw ini memang yang paling baik dah, ciyuss.
Patrick yang tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan nobar, terpaksa ritual keramat ini hanya gw dan Marsel yang mampu menjalani . Acara nobar pertama libur nasional ini diisi dengan film Blue Velvet , reaksi Marsel: “bebungulan filmnya monn”, nobar kedua pun dilanjutkan dengan A Clockwork Orange, reaksi Marsel: “Alexnya membari marass.” Besoknya hari sabtu, kali ini Patrick bisa nobar, hanya saja dia cuman bisa jam 7 keatas, acara nobar bersama marsel untuk membunuh waktu pun terpaksa dilakukan, film pembuka yang gw pertontonkan ke si Marsel adalah short filmnya Joko Anwar berjudul Grave Torture, reaksi Marsel: *speechless, ga ngomong apa2*. Acara nobar selanjutnya, gw bingung apa yang mau ditonton, akhirnya gw pun memutarkan The Holy Mountain karya Alejandro Jodorowsky, daripada ga ada cemilan gw pun pergi beli bakso bentar sekaligus beli bakwan ama pisang goreng supaya ada temen nonton, si marsel gw tinggal bentar dan gw biarin dia nonton sendirian. Pas gw lagi makan di warung bakso, gw berandai-andai, gimana itu reaksi bocah pas nonton The Holy Mountain.
Patrick yang tidak bisa hadir dikarenakan ada halangan nobar, terpaksa ritual keramat ini hanya gw dan Marsel yang mampu menjalani . Acara nobar pertama libur nasional ini diisi dengan film Blue Velvet , reaksi Marsel: “bebungulan filmnya monn”, nobar kedua pun dilanjutkan dengan A Clockwork Orange, reaksi Marsel: “Alexnya membari marass.” Besoknya hari sabtu, kali ini Patrick bisa nobar, hanya saja dia cuman bisa jam 7 keatas, acara nobar bersama marsel untuk membunuh waktu pun terpaksa dilakukan, film pembuka yang gw pertontonkan ke si Marsel adalah short filmnya Joko Anwar berjudul Grave Torture, reaksi Marsel: *speechless, ga ngomong apa2*. Acara nobar selanjutnya, gw bingung apa yang mau ditonton, akhirnya gw pun memutarkan The Holy Mountain karya Alejandro Jodorowsky, daripada ga ada cemilan gw pun pergi beli bakso bentar sekaligus beli bakwan ama pisang goreng supaya ada temen nonton, si marsel gw tinggal bentar dan gw biarin dia nonton sendirian. Pas gw lagi makan di warung bakso, gw berandai-andai, gimana itu reaksi bocah pas nonton The Holy Mountain.
The Holy Mountain merupakan sebuah film cult yang dibikin ama sutradara sakit jiwa bernama Alejandro Jodorowsky, kalo biasanya gw bisa nulis sinopsis film, maka khusus untuk The Holy Mountain, jari-jemari gw bahkan gak sanggup untuk nulis intisari cerita yang dihadirkan Jodoworsky disini. Pasalnya, apa yang dihadirkan di The Holy Mountain bukan sebuah cerita yang terstruktur dengan baik, ceritanya abstrak,ah bukan2, The Holy Mountain engga seabstrak itu, ceritanya ada, tapi pengokohan ceritanya itu masih tergantung pada intepretasi para penontonnya, pas si Marsel nonton The Holy Mountain bareng gw, ada sebuah pertanyaan labil yang ia tanyakan, “Monn,itu setting Negara di The Holy Mountain tuh dimana sih?, di Thailand kah” pertanyaan polos dari teman gw sontak bikin gw tergagap2, dialek Thailandnya aja kagak ada, Thailand dari mananya, Thailand dari hongkong.
Seperti yang gw bilang diatas tadi, The Holy Mountain memiliki struktur cerita yang abstrak seperti lukisan, dialog yang sungguh minim disini pun membuat penonton menerka2 apa sih maksud film ini?, atau pertanyaan simpelnya: “INI FILM MAUNYA APA SIH?” karena film ini terlalu banyak menawarkan scene2 labil disini. Mulai dari para karakternya yang engga jelas, setting kotanya yang engga jelas, ceritanya yang engga jelas, semuanya absurd bin surreal. Namun menurut gw, apa yang membuat The Holy Mountain menjadi sebuah karya yang mashyur sekaligus menjijikan mungkin karena ke-absurditasannya yang menjadi motif utama Jodorowsky ngebikin The Holy Mountain. Gw yakin, Jodorowsky ini pasti pernah ngerasain lahir dari dalam kotak susu ultra dan pup-nya ngeluarin balon, makanya filmnya bener2 labil begini.
Terlalu banyak adegan yang disturbing yang bikin mata gw meringis2 kesaktian, Bakwan yang gw beli pun nyaris dimuntahkan oleh marsel karena adanya salah satu adegan dimana sang tokoh utama bisulnya ditusuk, dan bisulnya itu ngeluarin semacam binatang berspesies cumi-cumi, muncul lah dialog ekstrim begini antara gw dan Marsel:
Gw: EYY, KENAPA ENTE SEL, MAU MUNTAH KAH, KELUAR SANA KELUAR, AKU PAUSE DULU FILMNYA
Marsel: BUNGUUUUUL FILMNYA MON, ASLI DAH, MAU MUNTAH AKU, AKU LAGI MAKAN KENAPA ADEGANNYA SOMPRETT BEGITU, JUANCOOOK.
Gw: HARAP MAKLUM, YANG BIKIN FILM SUKA MINUM DARAH NAGA, PIPIS-NYA ALEJANDRO JODOROWSKY ITU NGELUARIN API.
Marsel: *HOEKKKKKKK*
Gw: wkwkwkwkwkwk!!!!! *ketawa epic*
The Holy Mountain berhasil memberikan cinematic experience yang tak terlupakan. Setiap adegan disturbing dan sakit yang ada di The Holy Mountain, menurut gw adalah suatu karya pikiran liarnya Alejandro Jodorosky yang bener2 epic, filmnya ga jelas, tapi unsur kegajeannya itulah yang membuat gw berpikir bahwa film ini terlalu sempurna. Mungkin pada saat kamu menonton film ini, kamu akan bergumam bahwa film ini adalah film buat orang sakit jiwa. Tapi itulah tujuan utama The Holy Mountain, The Holy Mountain yang pada awalnya memberikan sebuah kehidupan semu mengakhiri semuanya dengan sebuah penegasan non-fiksi dari Alejandro Jodorowsky. Kalimat mantra terakhir yang diucapkan Jodorowsky di penghujung cerita membuat gw terguncang dan bikin gw merasakan efek mindfuck yang membatin secara membara, gw speechless sekaligus tersenyum2 ala Didi Bebek, sedangkan si Marsel malah ketawa2 anjing gara2 endingnya yang luar biasa mindfuckingblowing itu.
Pas The Holy Mountain Berakhir, terjadi conversation yang menurut gw lumayan epic:
Marsel: PFFFTTTTT, HUAHAHAHAHAHAHAHAHAHA!!!! *ketawa ngeluarin liur*
Gw: PFFFFFFFTTTT, BRUAKAKAKAKAKAKAKAK!!! *ikutan ketawa ngeluarin dahak*
Marsel: Asli loco banget endingnya monn.
Gw: kan udah aku bilang sel, siap2 pas endingnya yang bener2 ‘mencerahkan’ , hihihi *ngikik*
Marsel: hiih,ayoja, HUAHAHAHAHAHAHAHA *ketawa lagi, cuman frekuensi ketawanya lebih kenceng*
Gw: PFFFFFFFFFFTTTTTTTTTTTTTTT *nyemburin air liur kemana2, ini efek habis nonton T.H.M, jadinya mabuk begini*
“Most directors make films with their eyes; I make films with my testicles.” - Alejandro Jodorowsky.
Akhir kata, nonton The Holy Mountain itu gak kayak nonton film biasa. Nonton The Holy Mountain itu kayak kamu langsung masuk ke dalam pikiran sang filmmaker dan langsung menontoni isi pikirannya yang absurd itu. Pada saat filmnya berakhir, kamu sadar, kamu harus pergi meninggalkan dunia The Holy Mountain, tapi kemudian kamu sontak berpikir bahwa gambaran dunia The Holy Mountain itu sudah terpatri dan melekat di otak kamu, di satu sisi kamu ingin kembali ke kehidupan nyata, tapi di sisi yang lain, kamu masih ingin terjebak selamanya di dunia The Holy Mountain yang eksotis itu. Dunia The Holy Mountain, sebuah dunia yang menyesatkan bagi para manusia yang ingin beristirahat sejenak dan lari dari kenyataan *mabuk*.
Alejandro Jodorowsky tuh sutradara A Serbian Film bukan?
ReplyDeletebukan, A Serbian Film itu si Spasojević, Jodorowsky ini mirip2 Stanley Kubrick, bedanya kalau Stanley Kubrick itu film2nya bikin mata terpesona (eg.2001: A Space Odyssey), kalo Jodorowsky ini film2nya bikin mata berdarah2 (eg. The Holy Mountain), gw tanya ama si Marsel bagusan mana antara The Holy Mountain ama Serbian, dia bilang Holy Mountain jauuh lebih bagus dibanding Serbian, mau filmnya yo?, ntar gw beri deh, siap2 kena penyakit katarak permanen ye
DeletePS: The Holy Mountin harusnya ada di AFI 100.
Setiap orang seleranya beda. coba nonton film ini bareng mamah lo. entah apa komentar dia.
Deleteatau nobar bareng sinister.
Deletekalo gw nonbar The Holy Mountain bareng emak gw dan minta komentar dia itu sama ajak kayak elu ngajak Ibuyo main Grand Theft Auto IV dan minta pendapat dia soal gamenya dia, both of them bakal bilang itu engga baik buat kamu dan merusak moral, iya gak?
Deletethat's the point!
DeletePenasaran sih, have you guys seen Suspiria?
ReplyDelete