Saya masih ingat aroma bungkus plastik vcd original di sebuah toko vcd di sebuah mal yang bernama Mitra Plaza. Ya, saya masih ingat.
Saya masih ingat bagaimana sinopsis film yang tertera di belakang sampul vcd, mampu menyelamatkan hidup saya dari kebosanan yang membelenggu kehidupan kanak-kanak saya. Sampai saat ini, saya masih tersenyum geli kalau disuruh mengingat bagaimana paduan dan tatanan kata-kata yang tertulis di belakang sampul itu, mampu membuat rasa keingintahuan saya menanjak naik. Saya yang pada saat itu masih berumur 4 tahun membawa kepingan vcd itu kepada ibu saya, dengan maksud minta dibelikan, tentu saja dengan wajah memelas. Ibu saya kemudian menjawab....
"Tanya papah dulu...."
Saya pun berjalan ke arah ayah dengan pengharapan yang tinggi. Adrenalin dan detak jantung saya berpacu dengan hebatnya pada saat itu. Dengan ekspektasi yang tinggi, saya berharap kepada Tuhan, mungkin Tuhan akan membuat jawaban ayah berbeda dengan ibu. Namun ternyata jawaban ayah sama saja.
"Tanya sama mamah sana....."
Pada saat itu, saya nyaris menjadi atheist.
Dalam perjalanan pulang, saya menangis dengan hebat di kursi belakang mobil panther jadul kami. Saya merasa mereka berdua adalah orang tua paling mengerikan yang pernah ada di dunia. Diri saya yang sekarang bisa saja memaklumi kondisi keuangan keluarga kami pada saat itu. Setelah krismon, ayah memiliki banyak problematika finansial, namun diri saya yang masih kecil mana bisa memahami hal rumit seperti itu. Saat sampai rumah, ayah berjanji akan membelikan saya vcd itu seandainya ayah dapat proyek. Saya mulai berhenti menangis, mulai mengangguk dan tersenyum, tersenyum karena saya diberi janji manis yang menggiurkan, berharap benda yang saya inginkan itu akan saya miliki suatu hari nanti. Tentu saja, ayah saya tidak pernah membelikan saya vcd itu.
Dua tahun kemudian, sebuah rental vcd original hadir di dekat rumah. Setiap pulang sekolah, saya selalu mampir di rental vcd itu, dan saya berterima kasih kepada Tuhan, karena Ia sudah memberikan saya sebuah surga kecil yang menyenangkan. Hanya saja saya belum bisa menyewa pada saat itu, toh saya masih belum punya Tanda Pengenal. Tapi apakah hal itu membuat rasa bahagia saya menjadi ciut? tentu saja tidak. Setiap malam, orang tua saya selalu mengajak saya untuk pergi ke rental vcd. Ayah saya menyewa film-film action, ibu saya menyewa film-film romcom, dan saya sebenarnya ingin sekali menyewa film-film yang ada Sharon Stone dan Pamela Anderson di sampulnya, namun ibu saya selalu melarang saya menyewa film itu entah kenapa.
Saya selalu dibayangi rasa sedih karena tidak bisa menyewa film sendiri, semuanya harus serba lewat orang tua. Saya merasa kalah karena saya tidak memiliki POWER untuk menonton film mana yang saya mau tonton, karena jujur saja, saya sudah muak menonton Home Alone dan Stuart Little berulang-ulang, saya ingin yang lebih berat dari itu, saya mau yang lebih berisi daripada itu. Saya mau melihat sesuatu yang belum pernah saya lihat.
Saat saya resmi menjadi siswa kelas 1 SMP, akhirnya saya mendapat kartu pelajar.
Saat saya resmi menjadi siswa kelas 1 SMP, akhirnya saya mendapat kartu pelajar.
Saya akhirnya bisa menyewa film-film sendiri, dan banyak menonton film-film hebat. Film-film seperti The Good The Bad and The Ugly, The Omen, Death Sentence, Indiana Jones, dan lain-lain. Saya berkenalan dengan banyak film, film-film hebat yang mampu mempengaruhi saya hingga menjadi pribadi yang seperti sekarang ini. Tanpa rental vcd yang sering saya kunjungi, mungkin Kritikus Film Gadungan dan akun mubi saya tidak akan pernah eksis. Namun sayangnya, beberapa waktu kemudian, tren dvd bajakan mulai mempengaruhi keluarga saya.
Hanya dengan 6.000 perak, kita bisa mendapatkan film 6 in 1, sementara rental vcd hanya mampu menawarkan 1 film dengan biaya 3.000 untuk sewa 1 hari. Tentu saja orang tua saya tergiur dengan penawaran seperti ini, namun saya tetap bertahan pada prinsip idealis saya, bahwa bajakan itu sama dengan mencuri. Untunglah kualitas film 6 in 1 itu amburadul dan buruk, orang tua saya kemudian kembali dan terus kembali ke rental vcd untuk menyewa film dengan kualitas gambar yang bagus, sesuatu yang tidak bisa mereka dapatkan di toko dvd bajakan. Ironisnya, justru saya yang tidak pernah kembali ke rental vcd semenjak saya mengenal istilah 'download film'.
Bila dulu saya harus repot-repot berburu film di rak-rak rental vcd, sekarang hanya dengan mengetik judul film yang saya inginkan di torrent, saya sudah bisa menontonnya. Saya merasa nyaman dengan cara menikmati sinema seperti ini, toh saya tidak perlu susah-susah keluar rumah, saya hanya perlu menghidupkan komputer kemudian tinggal cari-unduh-tonton. Kehidupan seperti ini benar-benar membuat saya merasa nyaman, tetapi jauh di dasar lubuk hati saya yang paling dalam, saya merasa kalau saya sedang membunuh 'mereka' pelan-pelan. Rental vcd yang dulu saya sering kunjungi akhirnya gulung tikar.
Beberapa minggu yang lalu saya mendapat mention dari teman saya di twitter kalau salah satu rental vcd dekat rumahnya sedang mengadakan obral vcd ex-rental. Buat sebagian orang, obral yang dilakukan rental vcd itu mungkin merupakan sebuah anugerah, karena bisa mendapatkan vcd original dengan harga bajakan itu merupakan kesempatan langka. Namun saat membaca mention itu, saya malah merasa sangat bersalah. Bersalah karena mereka sebentar lagi gulung tikar, dan merasa bersalah karena tanpa sadar, saya sudah 'lupa diri' kepada mereka yang telah mengenalkan saya kepada film-film hebat.
Tadi siang saat saya dengan buang air besar sambil membaca Rumiko Takahashi Theatre, saya mendadak berpikir betapa enaknya anak-anak yang akan lahir setelah generasi saya. Mereka tidak perlu repot-repot menangis merengek minta dibelikan vcd, atau harus jongkok sampai pegal-pegal dalam rental vcd seperti saya dulu. Cukup hanya dengan melakukan hal seperti yang saya lakukan sekarang, mereka sudah bisa menonton film-film yang mereka inginkan.
Tujuan rental home video sebenarnya sangat mulia, mereka mengenalkan sinema dunia kepada masyarakat kelas menengah yang tidak mampu membeli home video original atau pergi ke bioskop. Mereka mengenalkan sinema dunia dengan harga yang terjangkau. Tapi apa daya, saat teknologi mulai maju dan menjadi lebih praktis, bahkan gratis, usaha-usaha seperti itu pun pada akhirnya memasuki tahap hidup segan, mati tak mau. Sehingga pada akhirnya kita hanya bisa duduk diam dan melihat, hal-hal yang pernah kita cintai, mulai menghilang dan raib dari bumi ini. Hal-hal yang pernah kita cintai seperti pita seluloid yang diganti dengan DCP. Album berbentuk CD yang diganti dengan media digital. Media buku berupa kertas yang diganti dengan e-book. Generasi selanjutnya akan merasakan hidup yang lebih praktis dan nyaman. Sementara kita hanya bisa melihat yang lama tergerus, dan digantikan dengan yang baru.
Tapi kita masih bisa mengingatnya. Kita masih bisa mengingat bagaimana pita seluloid mampu memberikan efek film look yang tidak akan pernah bisa diberikan DCP. Kita masih bisa mengingat bagaimana beratnya perjuangan berburu CD, Tape, dan barter mp3 lewat blutetooth dengan teman sejawat di kelas. Kita masih bisa mengingat bagaimana aroma buku yang baru saja kita buka sampulnya ketimbang mereka yang nantinya hanya akan menikmati buku lewat layar digital. Meskipun pada akhirnya benda-benda yang kita cintai hanya akan menjadi sepah tanpa rasa yang terlupakan karena perkembangan zaman, toh kita masih bisa mengingatnya. Kita semua adalah manusia yang selalu mendambakan faktor memori personal yang manis ketimbang sesuatu yang nyaman namun tak berpengaruh. Kita diberikan kemampuan untuk mengenang beragam hal penting yang mempengaruhi hidup. Walaupun nantinya akan terjadi perubahan besar-besaran, kita masih bisa mengingat kenangan yang mungkin tidak akan bisa dimiliki oleh siapapun selain diri kita sendiri.
Kita masih ingat.
Wah, orang banjarmasin jua kah?
ReplyDeletekapan2 kawa minta film nah.
siip gan, kabar2i ja gan
DeleteThis comment has been removed by the author.
Deletedari sekian post...thread ini yang bikin nostalgia....lanjutkan >.<
ReplyDelete