Kopi. Satu kata yang tentu sangat
akrab di telinga banyak orang, khususnya orang Indonesia yang memang suka
banget ngopi. Mulai dari kalangan tua sampai muda, berstatus sosial apapun, mau
yang ngopinya di warkop dan kopinya dituangin dikit-dikit ke piring kecil,
sampai ngopi di coffee shop semacam Starbucks
dan konco-konconya, atau bahkan sampai ke para siswa/mahasiswa yang malem-malem
suka nyeduh kopi hitam untuk menemani di kala nyelesain tugas-tugas
sekolah/kuliah, semua orang dibuat jatuh cinta oleh kopi. Termasuk gue pribadi.
Everything that includes coffee in it
always excites me.
Segelintir di antaranya adalah ketika Dewi Lestari
membuat kumpulan cerita pendek berjudul Filosofi Kopi di pertengahan tahun
2000-an, bahkan sampai salah satu cerita pendeknya diadopsi ke dalam bentuk
film dengan judul buku yang sama, yaitu Filosofi Kopi. Sebagai orang
yang ngaku suka kopi, akhirnya gue cepat-cepat pergi ke bioskop untuk nonton
film ini setelah Ujian Nasional usai beberapa hari lalu.
Di film yang disutradarai Angga
Dwimas Sasongko ini, kita diajak untuk berkenalan dengan dua orang sahabat yang
sudah bersama-sama sejak kecil, yaitu Ben (Chicco Jerikho), seorang pecinta
kopi yang free-spirited dan ambisius,
dan Jody (Rio Dewanto), yang sering dicap sebagai orang yang sangat perhitungan
oleh Ben. Dua sahabat ini membuat sebuah kedai kopi bernama Filosofi Kopi,
sesaat setelah ayah dari Jody berpulang. Ben yang sudah akrab mengolah biji
kopi sejak kecil pun didapuk menjadi barista, sementara Jody yang mengurus keuangan
kedai kopi tersebut. Konflik pun bermulai ketika Jody baru tahu bahwa almarhum
ayahnya meninggalkan utang yang nominalnya nyaris menyentuh angka 1 milyar
rupiah, dan merupakan tanggung jawab Jody untuk melunasi utang tersebut.
Semakin
hari, Ben dan Jody semakin panik karena angka pendapatan dari kedai milik
mereka mulai merosot dan mereka mulai didatangi oleh debt collector (Joko Anwar). Kepanikan mereka berlanjut sampai
akhirnya seorang pengusaha kaya raya (Ronny P. Tjandra) dan asistennya (Tara
Basro) menawarkan sebuah tantangan pada Ben dan Jody untuk membuat kopi house blend terbaik di Jakarta, bahkan
di Indonesia, yang jika mereka berhasil membuat kopi terbaik tersebut, mereka
akan diberi hadiah uang yang nominalnya bisa menutupi utang yang dimiliki ayah
Jody. Ben dan Jody pun menerima tawaran menarik tersebut, dan mereka diberi tenggat
waktu untuk membuat racikan kopi terbaik tersebut.
Ben pun berusaha sendiri untuk
membuat racikan kopi terbaik tersebut, sampai akhirnya ia menemukan racikan
kopi paling apik yang pernah ia buat. Orang-orang di Filosofi Kopi pun sontak
menamakan kopi itu sebagai Ben’s Perfecto. Ben dan Jody pun menjadi sangat
percaya diri akan kopi Ben’s Perfecto tersebut sampai akhirnya datang seorang Q-grader bertaraf internasional yaitu El
(Julie Estelle). El berkata pada Ben dan Jody bahwa ia pernah mencicipi kopi
yang bercita rasa lebih baik dibandingkan Ben’s Perfecto. Kopi itu bernama Kopi
Tiwus dan hanya bisa didapatkan di daerah Ijen, Jawa Timur. Ben, Jody, dan El
pun bergegas pergi ke Ijen untuk mencicipi Kopi Tiwus yang diracik oleh Pak
Seno (Slamet Rahardjo) dan Bu Seno (Jajang C. Noer). Lewat Kopi Tiwus, mereka
diajak untuk menilik kembali pahitnya masa lalu dan mengenal lebih dalam atas
apa yang dinamakan dedikasi yang berlandaskan cinta.
Okay, gue berani bilang bahwa Filosofi Kopi adalah satu-satunya
film dari adaptasi cerita yang ditulis Dewi Lestari yang gak mengecewakan.
Kerasa banget kalau film ini digarap dengan serius, lewat dialog-dialog lucu
dan menyegarkan yang sering dilontarkan Ben dan Jody, sinematografi yang ciamik,
skenario yang cerdas, dan minimnya plothole
udah cukup jadi bukti-buktinya. Seharusnya film-film Indonesia yang lain bisa
se-membanggakan ini, termasuk film-film yang diadaptasi dari novel dan cerpen
karya Dee yang terdahulu.
Memang film ini bukan berarti tanpa cela, tapi adanya
porsi untuk iklan suatu produk yang lumayan sering terlihat berhasil ditutupi
oleh aspek-aspek positif di film ini yang membuat hal tersebut menjadi
termaafkan. Dan ada satu hal yang masih menghantui pikiran gue ketika gue
keluar dari studio bioskop, yaitu (so
sorry, but this contains a spoiler) penyebab kematian dari ibunya Ben.
Karena tidak dijelaskan begitu gamblang, gue pun ternyata masih harus memutar
otak lagi setelah keluar dari studio sampai akhirnya gue menemukan jawabannya.
Mungkin itu memang disengaja sebagai teka-teki, I don’t really know.
Untuk urusan acting, gue punya penilaian tersendiri sama Chicco Jerikho. Iya,
yang awalnya kita ngenal dia sebagai pemain sinetron itu, sekarang jadi aktor film
yang layak diperhitungkan. Gue gak ngerasa hal yang gue sebutin tadi itu
berlebihan sih, ya pantes aja gitu tahun lalu dia menangin Aktor Terbaik FFI,
lha wong ternyata actingnya sebagus
itu sekarang! Gue yakin sih, kalo Chicco dapat jam terbang lebih dan kebetulan
bisa dapat peran-peran yang menarik, doi bisa nyaing-nyaingin kang mz Reza
Rahadian. Rio Dewanto dan Julie Estelle juga gak kalah bagus mainnya, apalagi
Slamet Rahardjo dan Jajang C. Noer. Scene
ketika Pak Seno sama Bu Seno ngejelasin tentang Kopi Tiwus sukses bikin air
mata gue meleleh seketika.
Overall, Filosofi Kopi ini bisa dianalogikan dengan satu cangkir
kopi hangat yang nikmat. Walau ada jejak-jejak pahit yang terasa, namun bisa
bikin hati jadi lebih ena-ena. Salut buat film ini!
“Walau tak ada yang sempurna,
hidup ini indah begini adanya.”
p.s.: Buat kalian yang berminat ingin nonton Filosofi Kopi, perlu
diinget bahwa setelah film ini selesai, ada 2 credit scenes yang sayang buat dilewatin (Gue cuman nonton 1 credit scene karena gak tau kalo abis
itu ada satu credit scene lagi. Meh. Jangan ikutan nyesel juga ya guys!)
0 comments:
Post a Comment