Pepatah "Don't judge book just from the cover." terkadang memang ada benarnya. Saat melihat posternya, saya sempat mengira kalau Amadeus adalah film seperti Eyes Wide Shut, Barry Lyndon, atau film-film dengan theme yang nyerempet-nyerempet. Ternyata saya salah, Amadeus adalah sebuah drama musikal paling 'AAIIIHHHH' yang pernah saya tonton. Tidak percaya? silahkan baca review saya berikut ini.
Cerita dibuka dengan teriakan Antonio Salieri (Yang diperankan secara gemilang oleh F. Murray Abraham) yang berteriak-teriak di kediamannya. Kepada pelayannya, ia mengatakan kalau ia telah membunuh Mozart. Merasa Salieri sudah gila, para pelayannya pun membawa Salieri ke rumah sakit jiwa (kalau bisa dibilang rumah sakit jiwa, saya justru merasa tempat Salieri dilarikan malah terlihat seperti kandang ayam). Om Pendeta Vogler (Richard Frank) pun mendatangi Salieri dan menawarkan ia pengakuan dan pengampunan dosa. Salieri pun mulai bercerita masa lalunya sebagai seorang pemusik handal, dan pertemuannya dengan Wolfgang 'Amadeus' Mozart (Yang diperankan secara AAIIIHHHH oleh Tom Hulce).
Saya katakan dengan tegas ya (ini ceritanya lagi mengikuti gaya bicara Nezumi dari Hear The Wind Sing mas Haruki Murakami), Amadeus adalah salah satu contoh dari sekian banyak film yang berhasi membawa penontonnya untuk terlibat dalam dunia 'kegilaan' yang Milos Forman hadirkan. Di sepanjang durasinya, mata dan telinga saya benar-benar dimanjakan habis-habisan oleh sinematografinya yang top notch dan iringan musiknya yang begitu memukau. Amadeus berhasil menarik saya ke dalam dunianya sendiri.
Dari segi akting, performa F Murray Abraham dan Tom Hulce itu persis seperti ayam jago yang sedang disabung, konfrontasi dan persaingan dua orang ini sangatlah menarik (dan menegangkan) untuk disimak. Karakter Salieri yang rapuh dan pendendam serta Mozart yang polos tapi gila entah kenapa terasa sangat believable dan bisa kita relasikan dalam kehidupan kita sehari-hari. Karena jujur saja, saya merasa kalau diri saya sendiri adalah Antonio Salieri, ah tidak, sepertinya kita semua adalah Antonio Salieri.
Amadeus adalah sebuah film yang luar biasa. Amadeus memiliki set piece yang megah (walaupun tidak semegah Barry Lyndon), sinematografi yang indah (walaupun tidak seindah Barry Lyndon), iringan musik yang eargasm (sama-sama eargasm sih kalau mesti dibandingan dengan Barry Lyndon), dan juga akting yang AAIIIHHHH (Bahkan lebih AAIIIHHHH dari Barry Lyndon). Namun apakah hanya dengan teknikalitas, dialog yang quotable, dan akting yang AAIIIHHHH, apakah Amadeus bisa dikategorikan sebagai film hebat? tentu saja tidak. Kalau hanya dengan unsur-unsur yang baru saja saya sebutkan, Amadeus hanya pantas disebut sebagai film bagus, bukan hebat. Yang menjadikan Amadeus hebat, dan sangat personal bagi saya, adalah isu permasalahan yang sudah sering diperdebatkan bertahun-tahun, dan diangkat Milos Forman dari stage play yang ditulis oleh Peter Shaffer. Permasalahan kerja keras vs bakat.
Banyak orang yang tidak percaya dengan bakat, saya pun dulunya juga tidak ingin percaya dengan yang namanya 'bakat', guru saya pun saat masih SD sering menekankan, bahwa kerja keras bisa saja mengalahkan bakat. Saya mengaminkan perkataan guru saya. Namun dengan seriring berjalannya waktu, saya akhirnya mencapai pada suatu titik di mana saya sadar. kalau pada kenyataanya orang yang sudah berusaha keras memang bisa mengalahkan orang yang berbakat. Namun bila orang yang sudah berusaha keras namun tak berbakat dihadapkan dengan orang juga sama-sama berusaha keras, namun memiliki bakat, sampai natalan monyet pun, mereka yang hanya mampu berusaha keras tidak akan mungkin bisa mengalahkan mereka yang sudah berusaha keras, dan juga berbakat.
Salieri adalah refleksi dari kita yang iri dan dengki terhadap mereka yang memiliki 'bakat'. Permasalahan yang mirip seperti ini juga diangkat dalam Paul Thomas Anderson's There Will Be Blood (2007), Amadeus dan TWBB memiliki persamaan, yakni sifat dasar manusia yang selalu ingin saling mengalahkan. Bedanya, jika TWBB memiliki pesan "Sukses itu tidak cukup, orang lain harus gagal." Amadeus memliki pesan "Kerja keras itu tidak cukup, kamu juga membutuhkan talenta untuk mengalahkan yang lain, dan menjadi yang terbaik." Pesan yang Peter Shaffer sampaikan seakan-akan ingin menegaskan, bahwa pada kenyataanya hidup ini memang tidak adil. Kalau di mata Tuhan derajat semua manusia sama, kenapa mesti ada yang berbakat dan ada yang tidak?
Selesai menonton Amadeus, saya mendadak teringat perkataan Ahmad Dhani di audisi Indonesian Idol, kalau tidak salah perkataan Dhani seperti ini (CMIIW):
"Kamu bisa bernyanyi, suara kamu bagus. Namun yang kami cari di sini adalah WOW Factor, sesuatu yang membedakan kamu dengan penyanyi lainnya."
Kalau Tuhan memang tidak menganugrahi kita dengan bakat yang kita inginkan, mengapa Tuhan malah menanamkan kita keinginan dan hasrat untuk menggeluti suatu bidang yang kita sendiri sebenarnya tidak memiliki bakat di bidang itu? Kenapa Tuhan menanamkan nafsu pada kita untuk mencapai sesuatu yang membutuhkan bakat sedangkan kita sendiri sebenarnya tidak berbakat? Kalaupun Tuhan sudah menganugrahi kita suatu bakat, mengapa Tuhan malah memberikan bakat yang tidak kita inginkan? Seperti kata Salieri dalam film ini.
"All I wanted was to sing to God. He gave me that longing... and then made me mute. Why? Tell me that. If He didn't want me to praise him with music, why implant the desire? Like a lust in my body! And then deny me the talent?"
"All I wanted was to sing to God. He gave me that longing... and then made me mute. Why? Tell me that. If He didn't want me to praise him with music, why implant the desire? Like a lust in my body! And then deny me the talent?"
Pada akhirnya kita hanya bisa meratap dan merasakan pahitnya persaingan dalam kehidupan ini. Mereka yang sudah berusaha keras melatih suara akhirnya gagal dalam audisi. Mereka yang sudah berusaha keras memacu kendaraan akhirnya tetap bertahan dalam posisi belakang selama satu musim. Ongal Syahputri dan Andi Alay yang (ngakunya) sudah berusaha keras membuat sebuah karya sinematis akhirnya gagal membuat penontonnya terkesima. Saat Amadeus berakhir, Milos Forman meninggalkan sebuah lubang besar berupa pertanyaan yang akan menghantui para penontonnya. Pertanyaan seperti: Apakah Tuhan memang membiarkan para ciptaan-Nya yang inferior menjadi nelangsa dan dilanda nestapa karena mereka dikalahkan oleh mereka yang lebih superior? Apakah Tuhan memang sengaja membiarkan ciptaan-Nya untuk merasakan iri hati dan pahitnya menjadi pecundang? Apakah Tuhan sedang mempermainkan para ciptaan-Nya?
Eh.. background blognya berubah #ngejunk
ReplyDeleteEh iya, background blognya berubah #ikutngejunk
DeletePS: Btw makasih yak kemarin cendol kaskusnya mbak, cendol segar itu benar2 membantu mengembalikan reputasi saya yang buruk di kaskus, hehehe.