Di era sekarang, sangat sulit untuk membedakan film yang direkam dengan teknologi digital dan yang direkam dengan teknologi analog, mengingat hampir seluruh bioskop di seluruh dunia sudah mengganti jenis proyektor mereka dengan DCP (Bahasa anak SMA-nya, infocus buat bioskop). Kalau dulu dengan mudah kita bisa melihat gores demi gores dan grain yang bertebaran di sana-sini, sekarang lewat maraknya teknologi digital, film yang direkam dengan rol film pun di konversi menjadi data digital, membuat kecacatan indah penuh kenangan di layar raksasa itu hilang ditelan badak. Membedakan hasil rekaman analog dengan digital di bioskop yang menggunakan DCP itu rasanya seperti melihat gambar di bawah ini:
Wednesday, January 28, 2015
Tuesday, January 27, 2015
In the Realm of the Senses (1976) Review
Saya suka bokep, tapi masih suka merasa 'yuh yih yuh' kalau ada feature film yang menghadirkan adegan seks yang tidak di simulasi. Saat masih berumur 15 tahun, saya mencoba-coba memutar In the Realm of the Senses. Baru beberapa menit, filmnya langsung saya matikan. Bukan karena filmnya terlalu sakit, tapi saya masih merasa belum cukup umur (padahal bokep jalan terus est. 2007) untuk menonton film yang dipenuhi dengan desahan-desahan beneran masuk seperti itu. Saya pun berjanji pada diri sendiri, kalau film itu mesti ditonton begitu umur saya menyentuh 18 tahun. 3 tahun kemudian, saya kira saya akan tahan menonton In the realm of the senses, eh ternyata sama saja, perasaan 'yuh yih yuh' tetap dapat dirasakan pada saat adegan kulum-kulum berlangsung. Nonton bokep 3 kali seminggu itu hukumnya Fardu Ain bagi saya, lah kok nonton In the Realm of the Senses tidak kuat ya? Hidup memang penuh kontradiksi.
Labels:
Movies
Subscribe to:
Posts (Atom)